Keroncong dalam Pemikiran dan Perenungan

Oleh: Danis Sugiyanto, S.Sn., M.Hum

Menurut pengertian masyarakat (baik umum maupun sebagai kajian seni di kalangan akademis), ditemukan berbagai arti mengenai kata keroncong. Arti keroncong tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Untuk menyebut gelang yang dipakai sebagai pelengkap pada busana khas rakyat  Madura (Jawa Timur).
  2. Secara onomatopis dari bunyi instrumen ukulele yaitu “crong…crong….crong”, yang konon berkembang menjadi kata/istilah asal muasal (musik) “keroncong”.
  3. Untuk menunjuk/menyebut suatu ansambel musik yang memainkan repertoar tertentu menurut aturan/pakem-nya. Adapun alat musiknya terdiri dari: piul (violin), seruling (flute), gitar, cuk (ukulele), cak (banyo), cello, dan bas (contra bass). Batasan ini hanya berlaku bagi ansambel keroncong yang biasa kita lihat secara umum pada masa kini, tidak membatasi ansambel keroncong yang lain (pada ansambel “Keroncong Tugu” tidak terdapat flute, tetapi digunakan alat semacam rebana, dan istilah instrumen cuk adalah prounga dan cak untuk machina, serta jitera untuk menyebut instrumen gitar).
  4. Untuk mengidentifikasi adanya suatu irama (beat) tertentu (masyarakat menyebutnya “irama keroncong”).
  5. Sebagai salah satu bentuk lagu dalam musik keroncong (bentuk yang lain adalah: stambul 1, stambul 2, langgam keroncong, langgam Jawa, dan berbagai bentuk lagu yang khusus).

Musik keroncong yang tumbuh dan berkembang seperti sekarang tentu telah melalui sejarah musiknya yang panjang. Berbagai referensi menyebutkan bahwa ansambel ini datang dari pengaruh kuat bangsa Barat (Portugis). Konon cikal bakal musik keroncong berasal dari kampung Tugu di Batavia pada abad ke-17. Semula musik ini terbentuk dari kegiatan berkumpul para penduduk Tugu selepas berburu atau bertani dengan bernyanyi untuk menghibur diri, lalu terbentuk komunitas-komunitas musik yang beraktifitas di rumah atau acara penduduk. Lama-kelamaan musik ini menjelma menjadi hiburan di pinggiran kota Batavia dan meluas perkembangannya sampai di kota-kota pulau Jawa dan nusantara. Kepopulerannya membawa musik ini menjadi hiburan elit bagi acara-acara peranakan Indo, bangsawan, saudagar-saudagar Cina, serta pribumi kaya pada dekade awal abad ke-20.

Sentuhan lokal membawa musik keroncong mengalami kekayaan musikal.

Indikasi ini terlihat pada perkembangan pola-pola tabuhan (permainan) yang mengadopsi budaya musik setempat seperti: ketuk tilu/jaipongan Sunda, gambang kromong Betawi, gambang Semarang, Tanjidor, gamelan Jawa, musik-musik Indonesia Timur (Maluku, Flores, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua), serta budaya musik lainnya (musik Sumatra, Melayu Deli, Minang, dan Batak).

Musik keroncong pernah mengalami masa emas ‘kejayaan” pada abad ke-20

ketika mulai munculnya komedi stambul dan ilustrasi musik film, masa kemerdekaan sampai dekade tahun 80-an. Banyak komponis terlahir dalam abad tersebut. Musik keroncong mengalami perkembangan luar biasa dalam segi instrumentasi dan orkestrasi, sampai sekarang. Banyak arranger dan musisi keroncong (serta musik di luar keroncong) yang telah berkreasi dengan jenis musik ini. Kebanyakan dari mereka masih mengacu konsep-konsep musikologis dari Barat. Musik keroncong telah diakses dan tereksplorasi menjadi bahan dasar kreatif dalam bermusik.

Penelitian-penelitian tentang musik keroncong masih jarang dilakukan, kuantitas dan kualitasnya jauh dari bidang ilmu/musik yang lain (terutama tradisi budaya musik gamelan/karawitan, ataupun ilmu-ilmu sosial). Agaknya benar pendapat peneliti musik (antropolog, musikolog Barat, ataupun etnomusikolog) terdahulu, bahwa musik keroncong dianggap musik yang tiada nilainya secara musikologis Barat.

Pendapat di atas boleh saja ditentang (terutama oleh pemerhati keroncong fanatik), atau bahkan bisa diamini kebenarannya. Pendapat yang menganggap keroncong “tiada bernilai”, berdampak pada pelecehan bagi selera/kesenangan masyarakat penggemar/pelaku musik keroncong, bahkan lebih jauh telah mengusik rasa nasionalisme. Sampai pada masalah ini lalu timbul pertanyaan, “Masihkah dibutuhkan eksistensi musik keroncong saat sekarang?”. Dengan kearifan, marilah kita menengok sejarah musik keroncong dari zaman masuknya genre musik ini ke Tanah Air sampai dengan perkembangannya pada masa kini yang telah menjadi ikon musik pemersatu Indonesia (konon keroncong adalah musik Indonesia). Apakah stigma itu masih melekat hingga kini? Mengapa di Indonesia masih sedikit yang mengembangkan keroncong, dilihat dari perspektif “musik baru”?

Keroncong masih dibutuhkan masyarakat?

Sejarah musik keroncong amat panjang, bahkan pernah mencapai masa emasnya. Mungkin kiasan yang tepat untuk keberadaan musik keroncong pada masa kini adalah.”Hidup segan, mati tak mau”. Kiasan ini serasi dengan keadaan para kreator, musisi, penggemar, atau badan pengayom keroncong yang setengah hati bersinergi dengan musik ini.

Bagi para kreator musik keroncong, nyata benar bahwa mereka hidup dari musik keroncong tetapi tidak semuanya dapat “menghidupi” keroncong. Musik ini telah dijadikan teman bekerja, tetapi masih sedikit usaha yang progresif untuk memikirkan keroncong menjadi musik yang mempunyai jatidiri. Para musisi juga sebagian besar narima jadi pendukung demi uang, daripada bersusah payah berbuat (dan juga berpikir) mulia agar posisi keroncong menjadi lebih bermartabat di mata masyarakat. Hal ini diperparah dengan organisasi-organisasi keroncong ataupun instansi pemerintah yang kompeten. Mereka turut andil dan memberikan jalan yang seringkali salah arah. Keroncong memang multifungsi dalam masyarakat, tetapi tidak hanya cukup dengan pendekatan ekonomis, kapital, turistik dan kekuasaan politik ataupun birokratis yang justru mengantar keroncong kepada jurang keterpurukan

Faktanya keroncong masih didayagunakan oleh masyarakat. Masih ada orang ‘punya kerja’ yang menggunkan jasa hiburan musik ini. Masih ada seniman-seniman yang melayani permintaan pentas (tanggapan). Grup-grup keroncong masih dijumpai dipelosok kampung perkotaan ataupun di desa-desa melakukan latihan dengan frekwensi masing-masing sesuai kemampuannya. Di dalam latihan grup-grup tersebut masih dijumpai pula penggemar yang sekedar datang melihat dan mendengar, mereka bukan seniman tetapi masyarakat biasa yang terlanjur cinta dengan keroncong. Adakalanya semangat mereka untuk dekat dengan keroncong melebihi senimannya sendiri. Penggemar-penggemar itu malahan ada yang mengkoleksi puluhan kaset keroncong. Kadang mereka tidak ingin jadi seniman professional, tetapi sekedar menghibur diri dan mencari pergaulan dengan insan-insan keroncong. Juga dijumpai penggemar-penggemar itu intervensi pada struktur kepengurusan grup yang turut andil menentukan arah dan tujuan grup keroncong.

Kebanyakan lagu-lagu dalam musik keroncong mengajak masyarakat keroncong untuk menikmati kegembiraan (hiburan bagi pribadi ataupun kelompok kecil seperti awal mula tumbuhnya musik ini). Musik ini seiring dengan perkembangan zaman telah menjadi seni pertunjukan sebagai sarana presentasi estetik. Fenomena perkembangan selanjutnya menjadikan musik ini sebagai sarana religi (seperti untuk misa ataupun lagu pujian yang diiringi musik keroncong). Jenis seni musik ini dapat digolongkan sebagai seni rakyat yang merupakan seni little tradition, seperti seni lain yang mengandung unsur kerakyatan (tanpa aturan ketat, bebas berkekspresi, guyub dan gotong royong). Di sisi lain musik keroncong dapat pula diatur ketat sesuai kehendak patron yang kuat (pemimpin, tokoh keroncong, dll.). Musik Barat menyediakan banyak aturan secara musikologis yang dapat menjadikan keroncong tampil dengan baju yang lain. Namun ketatnya  aturan-aturan tersebut akan tergantung pada pelaksanaannya (insan-insan pada komunitas keroncong).

Keroncong Sebagai Materi Kreatif Penciptaan Seni

Isu dunia seni pertunjukan dunia pada saat ini adalah getol mengangkat lokalitas sebagai andalan karya-karya seni. Gejala tersebut merupakan pilihan pembanding dari mainstream seni-seni pertunjukan yang mengandalkan isu modernitas dengan bantuan teknologi dan pengaruh dunia global. Sekarang pertanyaan yang muncul, apakah musik keroncong sebagai produk lokal dapat berbicara di persaingan seni pertunjukan dunia?

Bangsa Indonesia memiliki beragam kekayaan budaya yang banyak diantaranya telah diangkat menjadi pertunjukan kelas dunia. Menurut pengalaman, penulis telah berpartisipasi dalam banyak event pertunjukan skala nasional dan internasional. Yang patut dicatat adalah pada tahun 1997 penulis telah berhasil membawa unsur keroncong dalam pertunjukan “King Lear” oleh teater Works Singapore. Materi musik teater tersebut menampilkan kolaborasi berbagai budaya (musik) di Asia seperti; Indonesia (gamelan Jawa, Minangkabau, dan keroncong), Jepang (tradisi instrument Biwa), China (opera Beijing), Thailand, Malaysia. Proyek teater multikultur tersebut didanai oleh Japan Foundation, dan telah dipertunjukan di Jepang, Hongkong, Jakarta, Perth, Berlin, Copenhagen, dan Singapore. Meski hanya sekrup kecil dalam proyek seni tersebut, namun keroncong telah berusaha mendekat kepada dunia yang lebih luas. Saat sekarang telah banyak seniman yang menggandeng musik keroncong sebagai ide dasar penciptaan karya seni mereka, diantaranya adalah; composer Jepang Celia Dunkelman mengangkat lagu “Bengawan Solo” karya Gesang sebagai ide komposisi musiknya,  musik fashion show desainer kondang Anne Avantie “Aku, Wanita dan Kebaya” yang menggunakan keroncong sebagai ilustrasi musiknya, kolaborasi antara keroncong dengan musik calung Banyumas “Conglung”, ataupun karya-karya seni tugas akhir mahasiswa S2 ISI Surakarta yang telah mengolah musik keroncong dengan musik etnik yang lain. Tetapi sayang, insan-insan keroncong masih sedikit yang berkreasi membuat musik-musik baru dengan dasar musik keroncong. Sebagian besar kreativitas masih berkutat pada pengembangan kekaryaan yang berorientasi pada kerja aransir lagu-lagu yang sudah ada di masyarakat keroncong.

Orientasi kreativitas mengaransir lagu memang bukan kerja seni yang sia-sia, tetapi harus dilandasi konsep kekaryaan yang menawarkan kesegaran norma-norma baru berupa nilai-nilai musik, kaedah,  cara pandang terhadap medium, ekspresi idealisme bermusik, jati diri penciptaan karya seni, dan lain-lain. Dalam berbagai praktek keroncong masih banyak dijumpai kreasi yang mengekor pada kaset rekaman dan aransemen lama (ketinggalan zaman).

Jatidiri Keroncong

Dilihat dari keunikannya, musik keroncong bisa dikatakan unik dan eksotik. Musik ini tidak dijumpai dimanapun sebagai musik yang genuine (asli) kecuali di Indonesia. Keberadaan kroncong di Malaysia ataupun Negara lain (yang mungkin ada) hanya merupakan pengaruh dari insan-insan keroncong Indonesia yang menetap atau dipanggil untuk mengajar musik keroncong di sana. Akan tetapi dilihat dari sudut pandang ‘Barat’, sungguh seakan kita ketinggalan ratusan tahun dalam sejarah musik. Keroncong akan semakin ketinggalan ketika pengembangan selalu melihat ke arah budaya Barat  (terutama musikologisnya). Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dasar musik ini berpijak pada budaya musik Barat, tetapi harus ada sudut pandang pengembangan yang lain. Biasanya orang Timur yang ingin ‘maju’ harus menengok ‘Barat’. Karena seperti diketahui jamak bahwa di dunia Barat lebih disediakan kehidupan yang berpola modern, sedang di Timur relative tertinggal.

Dunia Barat juga sering melihat Timur sebagai dunia eksotis yang menyediakan beragam sumber dasar seni. Karya-karya budaya Barat banyak terinspirasi dari budaya Timur, baik seni yang kontemporer, eksperimen, world music, ataupun avant garde. Akankah kita (insan keroncong) sebagai orang dari budaya Timur sudah mulai melihat dan melakukan pengembangan seni (keroncong) dari sudut tolak budaya Timur juga? Kemungkinan ini bisa terjadi, dan menimbulkan peluang diliriknya seni-seni atau seniman-seniman Indonesia oleh dunia global. Kompetensi hasil seni masa kini dan kreator seninya (seniman) Indonesia semakin maju. Salah satu contohnya adalah seniman musik Rahayu Supanggah. Beliau membuka mata dan telinga dunia dengan konsep dan cara berkeseniannya yang sebagai orang Timur tetapi tetap memandang ke Timur. Inilah mungkin cara jitu seni (keroncong) Indonesia dalam menunjukan jatidirinya, serta dapat sejajar dengan seni-seni dunia yang lain.

KEPUSTAKAAN

Rustika Herlambang

2008    “Rahayu Supanggah dari Solo ke pentas dunia”, majalah fashion Dewi, edisi Agustus 2008.

Mack, Dieter.

1995    Sejarah Musik Jilid IV.Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Raffles, Thomas

1978 History of Java with an Introduction by John Bastin Vol 2. Kualalumpur: Oxford University Press

Rahayu Supanggah

2001    “Kolaborasi: Kisah Sebuah Pengalaman”, dalam jurnal Kêtêg volume 1 no. 1 Nopember 2001

2002        Bothèkan Karawitan I. Jakarta: Masyarakat Seni pertunjukan Indonesia.

2007        “Ketika Seorang Seniman Beretnomusikologi”, makalah Simposium Nasional Pengembangan Ilmu Budaya: Membumikan Etnomusikologi Indonesia. ISI Surakarta 2007

2007    Bothèkan Karawitan II: Garap. Surakarta: ISI Surakarta

Yusi A. Pareanom

2005    “I Lagaligo”, buku pementasan Robert Wilson di Teater Tanah Air Taman Mini Indonesia Indah Jakarta tanggal 10-12 Desember 2005.

BIOGRAFI SINGKAT: DANIS SUGIYANTO

Lahir 2 Maret 1971 di Surakarta, sekarang tinggal di Pondok Baru Permai Blok H no. 19 Gentan, Baki, Sukoharjo. Lulus STSI Surakarta tahun 1995 lalu Pascasarjana UGM pada Program Studi Humaniora, Pengkajian Seni Pertunjukan Fakultas Ilmu Budaya tahun 2003.

Pengalaman kerja:

  • Staf local KBRI Santiago, Chile tahun 1997-2000.
  • Tutor karawitan program Pendidikan Apresiasi Seni (PAS) STSI dan UMS Surakarta tahun 2005-2006.
  • Pengasuh kelompok karawitan Marsudi Renaning Manah (MAREM) kampung Kemlayan Surakarta sejak tahun 2000 sampai sekarang.
  • Dosen ISI Surakarta sejak tahun 2003

Pengalaman seni

–          Mengenal musik Barat tahun 1989, lalu belajar intensif musik keroncong sampai sekarang di Orkes Keroncong Swastika Surakarta.

–          Belajar karawitan secara intensif mulai tahun 1990 di STSI Surakarta.

–          Pentas ke luar negeri kali pertama tahun 1994 di Hongkong bersama STSI Surakarta.

–          Mendukung karya Rahayu Supanggah di berbagai kesempatan (rekaman, workshop dan pertunjukan di dalam dan luar negeri) sejak tahun 1997  (Teater Works Singapore “King Lear”, Singapore dan Jepang),  2000 (rekaman CD “Kurmat pada Tradisi”, 2001 (Seminar, Workshop, dan pentas di University of Taipe, Taiwan), 2005 (konser musik “Megalitikum Kwantum”, Jakarta dan Bali), 2005 (konser “The Sound of Beginning”, New York-USA), 2005-2008 (ILG di: New York-USA, Melbourne-Australia, Jakarta, Milano-Italy, Taipe-Taiwan), 2006 (Musik Fashion Show Anne Avantie), 2007 (Musik film “The Detour to Paradise”.

–          Mendukung karya Retno Maruti dan Padnecwara Grup sejak 2002 sampai sekarang, “Calon Arang” di Esplanade, Singapura (2007).

–          Mendukung karya-karya seniman: WS. Rendra, Sardono W. Kusumo, I Wayan Sadra, Slamet Gundana, Dedek Wahyudi, Dedy Luthan, Enthus Susmana, Hajar Satoto, Yayat Suheryatna, Suprapto Suryodarmo, dll.

–          Mencipta karya-karya musik untuk ujian mahasiswa S2 (“Subur” tahun 2003 dan “Arus Sungai dan Peradaban”, 2006), bersama Orkes Kroncong Swastika (“Pasamuan Panggung” 2003, “Conglung” tahun 2005, “Eksperimen kroncong” tahun 2007) dan kelompok Sonoseni Ensamble Surakarta sejak tahun 2000-sekarang (Samangke, Bedhah Dot Com).

–          Menjadi penampil dalam “The 50th Aniversary of Indonesia-Australia Friendship” di Sidney, nopember 2008.

Karya Tulis

–          Sumbangan Komponis Gesang Martohartono terhadap Musik Indonesia, tesis UGM 2003.

–          Narasi Bambu Calung, majalah Gong 2002

–          “Conglung”: Keroncong alternative, Taman Budaya Surakarta (2005).

–          “Parade 1000 Bunga”: keroncong eksperimen, Taman Budaya Surakarta (2007).

Kontak person:

–          danissugiyanto@hotmail.com

–          Hp: 08122605495

–          Telp:(062 271 7650370)

Pentas Kolaborasi UKM Keroncong ISI Surakarta dan Swastika